Indonesiainteraktif.com - Pertempuran atau lebih tepatnya pembantaian di Karbala pada 1 - 10 Muharram 61H atau 1 - 10 Oktober 680 M meninggalkan luka yang mendalam bagi kaum muslimin. Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash menyerbu dan membantai rombongan Imam Husain bin Ali yang hanya berkekuatan 72 orang, yang terdiri dari32 prajurit berkuda; 40 orang pejalan kaki, selebihnya terdiri dari anak-anak dan perempuan.
Pasukan Husein bertempur merangsek menghadapi hujan panah, lembing, tombak, dan ayunan pedang pasukan musuh. Namun, mereka akhirnya tumpas. Setelah pasukannya habis, akhirnya Husein pun dibunuh.
Perang Karbala merupakan kelanjutan dari riwayat panjang tentang perselisihan dan permusuhan kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah. Karen Amstrong dalam Sepintas Sejarah Islam (2000) menyebutnya sebagai "fitnah" yang melanda dunia Islam. Dan Perang Karbala pula yang menjadi puncak permusuhan itu menjadi batu tapal dimulainya keterbelahan antara kaum Sunni dan Syiah secara luas di seluruh dunia.
Persoalan politik itu seolah-olah menjadi hulu ledak bagi timbulnya perdebatan yang tak berkesudahan, sebab kemudian dibumbui juga oleh perbedaan lain yang disebut-sebut kaum Sunni sebagai perbedaan secara syariat dan akidah. Sunni dan Syiah sama-sama mencintai Ahlul Bait atau keluarga Rasulullah, tapi karena persoalan syariat dan akidah semakin meruncing, maka keduanya tak bisa disatukan laksana air dan minyak.
Dalam pengantarnya di buku Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya (1978), Hamka menerangkan jika dirinya ditanya akan berpihak ke mana dalam pertentangan yang terjadi pada masa lalu itu, maka ia mengungkapkan bahwa dirinya akan berpendirian seperti para ulama terdahulu seperti Imam Abu Hanifah, Hasan Al Bishri, dan Umar bin Abdul Aziz yang berkata:
"Itulah darah-darah yang telah tumpah, yang Allah telah membersihkan tanganku dari percikannya; maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku."
Peristiwa pembantaian keluarga Rasulullah itu diperingati secara rutin sejak tahun 62H/681M di belbagai belahan bumi khususnya.
Peristiwa perang/pembantaian di Karbala tersebut di Kota Bengkulu dikenal dengan nama 'Perayaan Tabot', di Pariaman dikenal dengan nama 'Festival Hoyak Hosen' sedangkan di Iran dikenal dengan nama 'Peringatan Asyura'.
PERAYAAN TABOT DI KOTA BENGKULU
Ritual Tabot adalah ritual agama Islam Syi’ah untuk mengenang dan mendramatisasi peperangan di Padang Karbala, Irak, pada tanggal 10 Muharram 61 H, yang melibatkan dua kubu pasukan, yaitu kubu Imam Husain (bin Ali bin Abi Thalib) melawan kubu Yazid (bin Muawiyah bin Abi Sufyan). Dalam peperangan tersebut, Imam Husain, salah satu cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW, mati terbunuh setelah tangan dan kepalanya terpisah dari badannya. Dalam kondisi yang sangat mengenaskan, jasad Imam Husain ditemukan oleh Alhulbait dan para pengikutnya yang selamat dalam peperangan tersebut. Untuk mengenang kematian Imam Husain dan para pengikutnya di Padang Karbela, Irak, maka para pengikutnya yang selamat membuat bangunan yang sangat indah pada setiap sepuluh hari pada bulan Muharam. Peristiwa inilah sebagai awal dilaksanakannya Perayaan Tabot hingga saat ini.
Ritual Tabot dibawa oleh para penyebar agama Islam golongan Syi’ah dari Jazirah Arab (Irak dan Iran) ke Bengkulu melalui Punjab, India, pertama kali pada tahun 756/757 H/1336 M oleh Maulana Ichsad dan rombongan, setelah itu disebarkan dan dikembangkan kembali oleh Syekh Burhanuddin (Imam Senggolo) di Bengkulu pada masa kolonial Inggri (1685-1825). Ritual Tabot tersebut diwariskan kepada anak cucu Imam Senggolo dan pengikutnya yang telah berasimilasi dengan penduduk Bengkulu, yang juga menyebabkan terjadinya akulturasi budaya Tabot dengan budaya Melayu Bengkulu. Karena Ritual Tabot sudah dilaksanakan lebih dari 675 tahun maka Ritual Tabot sudah dipandang sebagai ritual masyarakat Bengkulu.
Ritual Tabot pada awalnya adalah ritual Islam Syi’ah, namun karena kuatnya pengaruh Islam Sunni (Ahlusunna Wal Jamah) di Bengkulu maka keturunan penyebar Islam dari golongan Syi’ah yang telah berasimilasi dengan penduduk Bengkulu tersebut pindah menjadi pengikut Islam Sunni yang taat. Walaupun mereka sudah menjadi pengikut Islam Sunni yang taat tetapi mereka tetap melaksanakan Ritual Tabot sebagai ”ritual agama Islam secara universal”, serta mereka melaksanakan Ritual Tabot sebagai kewajiban untuk tetap menjaga dan melestarikan warisan leluhur.
Ritual Tabot mempunyai nilai-nilai yang universal sehingga dapat diterima dan fungsional oleh masyarakat Bengkulu, walaupun zaman terus berganti namun Ritual Tabot dapat diterima oleh seluruh masyarakat Bengkulu yang plural dan heterogen, karena nilai yang terkandung dalam Ritual Tabot mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dengan toleransi antarsuku, etnis dan agama yang kuat. Pada daerah yang heterogen, nilai-nilai yang terkandung dalam Ritual Tabot sangat dibutuhkan untuk mengintegrasikan masyarakat dalam bingkai persatuan yang kokoh dan kuat sebagai modal dasar kehidupan bermasyarakat.
Ritual Tabot mampu menyatukan berbagai suku, etnis dan agama yang ada di Kota Bengkulu. Fungsionalitas Ritual Tabot dalam mengintegrasikan masyarakat yang plural dan heterogen dikembangkan menjadi Perayaan Tabot dengan berbagai multiplier effect yang menguntungkan masyarakat serta pemerintah, baik dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, keuangan, perdagangan, transportasi, hukum, pendidikan, pariwisata serta bidang-bidang lainnya. Perkembangan dan promosi Ritual Tabot menjadi Perayaan Tabot tidak dilakukan oleh penganut Islam Syi’ah (karena penduduk Bengkulu tidak ada lagi yang menganut Islam Syi’ah) tetapi oleh penganut Sunni (padahal Syi’ah dan Sunni tidak sepaham) sebagai ritual budaya yang mempunyai kekuatan mengintegrasikan masyarakat Bengkulu. Karena Perayaan Tabot fungsional bagi kehidupan masyarakat Bengkulu yang plural dan heterogen maka Perayaan Tabot dapat bertahan dan berkembang hingga saat ini.
Pada awalnya ada benturan pemahaman di kalangan masyarakat terhadap Ritual Tabot. Sebagian elemen masyarakat mengecamnya dan menganggapnya perbuatan syirik. Akan tetapi, secara berangsur-angsur pemahaman itu hilang seiring dengan proses akulturasi budaya. Pada prinsipnya, Ritual Tabot memiliki hubungan dengan paham Syi'ah, yang dibuktikan dengan arak-arakan Tabot yang pesannya menggambarkan ritus penghormatan atas syahidnya Imam Husain di Padang Karbala. Dalam perjalanan sejarah, melalui proses asimilasi, akomodasi, dan interaksi budaya. yang cukup intens antara ritus bernuansa Syi'ah ini dengan budaya-budaya lokal Bengkulu, maka Tabot mengalami metamorfose budaya. Pada awalnya, Ritual Tabot digelar dalam rangka melaksanakan Syi'ah sebagai paham/ideologis menjadi sebuah kearifan lokal atau sekadar sebagai praktik Syi'ah kultural. Dalam konteks ini Syi'isme bukan lagi sebagai paham dan ideologi keagamaan tetapi sebagai ornamen budaya.
Dalam konteks yang lebih luas, mayoritas masyarakat Bengkulu sudah tidak mempersoalkan asal-usul Tabot, apakah bersumber dari paham Syi'a atau Sunni. Tabot sudah dianggap sebagai bagian dari budaya mereka yang perlu dirayakan sepanjang tahun, tidak ubahnya upacara Sekaten di Kesultanan Yogyakarta. Apalagi, dalam konteks dakwah Islamiah, tradisi Tabot dapat menjadi media dalam mensyiarkan Islam, misalnya tampak melalui kebersamaan dan kegotong-royongan ketika mempersiapkan Perayaan Tabot.
Pemerintah dan Keluarga Kerukunan Tabot melakukan simbiosis multualism yang saling menguntungkan. Di satu pihak, Keluarga Kerukunan Tabot (KKT) dibantu oleh pemerintah dalam hal sarana, prasarana dan dana, di lain pihak, kegiatan-kegiatan dalam Perayaan Tabot membantu pemerintah dalam melaksanakan tugas pembangunan di segala bidang karena multiplier effect yang ditimbulkan Perayaan Tabot di Kota Bengkulu mempunyai kekuatan yang besar dalam hal peningkatan kehidupan masyarakat Bengkulu.
Pada saat ini Perayaan Tabot bukan hanya Ritual Tabot tetapi sudah berkembang menjadi perayaan multidimensi dan multitujuan. Peluang yang ada pada Ritual Tabot dikembangkan oleh pemerintah dan masyarakat dalam segala bidang. Perayaan Tabot digunakan sebagai ”pintu masuk” bagi semua bidang pembangunan, bukan hanya di Kota Bengkulu tetapi di Provinsi Bengkulu secara keseluruhan.
Berdasarkan teori struktural fungsional ”Durkheimian” dapat dijelaskan bahwa Ritual Tabot yang awalnya merupakan ritual agama sebagai sesuatu yang fungsional sehingga berkembang dalam “multifungsi dan multidimensi” yang lebih luas, yaitu Perayaan Tabot, maksudnya sebagai wadah yang dapat menyatukan emosi mendalam pada sekelompok orang tertentu melalui simbol dan ritual yang disebut sebagai “kendaraan” bagi perasaan dan integrasi sosial. Jika teori ini diaplikasikan dalam konteks Perayaan Tabot, maka Perayan Tabot berfungsi mengintegrasikan berbagai macam suku, etnis dan pemeluk agama demi meningkatkan kehidupan masyarakat di Kota Bengkulu yang plural dan heterogen. Perayaan Tabot yang awalnya merupakan ritual agama pada akhirnya agama menjadi identitas sosial.
Ritual Tabot yang berkembang menjadi Perayaan Tabot berasal dari kesepakatan kolektif masyarakat, karena masyarakat kota Bengkulu yang plural dan heterogen menganggap bahwa Ritual Tabot mempunyai kekuatan yang dapat dikembangkan sebagai sarana untuk mengintegrasikan dan meningkatkan kehidupan masyarakat Bengkulu, sehingga terjadi perubahan fungsi, dari ”fungsi ritual” menjadi ”multifungsi dan multidimensi”. Perubahan persepsi masyarakat terhadap Ritual Tabot dari ritual agama menjadi ritual budaya mempermudah berkembangnya Ritual Tabot menjadi Perayaan Tabot. Teori Durkheimian mengutamakan arti penting masyarakat-struktur, interaksi dan institusi sosial-dalam memahami pemikiran dan perilaku manusia.
Hal ini dapat dicermati dari penekanan Durkheim yang ingin melihat hampir seluruh perubahan utama manusia yaitu persoalan hukum, moralitas, profesi, keluarga dan kepribadian, ilmu pengetahuan, seni dan juga agama, dengan menggunakan sudut pandang sosial. Durkheim mengklaim bahwa tanpa adanya masyarakat yang melahirkan dan membentuk semua itu, maka tak ada satupun yang akan muncul dalam kehidupan. Di sisi lain, Durkheim juga mengungkapkan bahwa fakta sosial itu jauh lebih fundamental dibandingkan dengan fakta individu dan fakta sosial sama nyatanya dengan fakta fisik dan individu sering disalah pahami ketika pengaruh masyarakat yang begitu kuat terhadapnya di kesampingkan atau tidak dipahami dengan teliti.
Dalam Ritual Tabot yang awalnya merupakan agama sebagai faktor integratif dan pencipta harmoni, tersembunyi suatu asumsi tertentu mengenai konflik. Dalam konteks ini konflik dilihat sebagai gejala patologis yang tampak sebagai suatu penyakit dalam masyarakat. Pandangan positif terhadap Ritual Tabot sebagai ritual budaya sebagai kekuatan integratif, seperti yang tercermin dalam teori Durkheim, mengeliminasi gejala-gejala patologis tersebut yang akhirnya menjadi gejala-gejala yang bersifat konstruktif.
Sebagaimana halnya agama, maka negara juga menciptakan obyek-obyek suci yang berusaha mengikat individu melalui upacara-upacara repetitif sebagai bentuk ritual baru seperti Ritual Tabot, hari-hari besar untuk di peringati, pahlawan, kuburan para pemimpin negara, museum, patung-patung, tugu-tugu, bendera kebangsaan, dan lembaga negara itu sendiri. Upacara-upacara yang dilakukan negara dengan khidmat dan disikapi secara religius. Ada kalanya negara modern membentuk suatu ideologi nasional yang mewadahi nilai-nilai luhur yang dirumuskan sebagai kesepakatan. Ideologi nasional itu tidak saja memberikan makna, tetapi juga merupakan pedoman tingkah laku. Dengan ideologi, setiap warga negara tidak saja diharapkan patuh kepada pimpinan nasional atau aturan birokrasi, melainkan juga bertindak dengan sikap mengabdi. Di sinilah terjadi integrasi penuh antara agama, ritual agama dengan negara.
PERAYAAN TABUIK DI PARIAMAN
Tabuik, adalah warisan budaya berbentuk ritual upacara yang berkembang di Pariaman sejak sekitar dua abad yang lalu. Tabuik merupakan upacara atau perayaan mengenang kematian Husain, tetapi kemudian berkembang menjadi pertunjukan budaya khas Pariaman setelah masuknya unsur-unsur budaya Minangkabau.
Bagi masyarakat Pariaman upacara ini tidak menjadi akidah (kepercayaan yang menyangkut dengan ketuhanan atau yang dipuja), pelaksanaanya hanya semata mata merupakan upacara memperingati kematian Husain. Bahkan, Tabuik sudah dijadikan sebagai peristiwa budaya dan pesta budaya Anak Nagari Piaman (Pariaman).
Masyarakat Pariaman adalah penganut Islam Sunni. Bagi penganut Sunni, mencintai keluarga Rasulullah bukan saja menjadi hak para penganut umat Islam, tanpa kecuali, hanya saja cara untuk melakukannya tidak sama. Dengan demikian, masyarakat Pariaman tidak mempermasalahkan mengenai asal muasal Tabuik Piaman penting bagi mereka adalah bagaimana Tabuik dijaga dan dilestarikan sebagai warisan budaya.
Tradisi ritual ini sudah diwarisi secara turun menurun oleh masyarakat Pariaman sejak sekitar dua abad yang lalu. Perayaan atau pesta Tabuik dilakukan secara meriah dan kolosal yang melibatkan ratusan bahkan ribuan orang. Kemegahan upacara ini seperti menghipnotis dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung untuk menyaksikannya.
Para pengunjung datang dari berbagai daerah di Sumatera Barat dan luar Sumatera Barat, dan tentu saja tidak ketinggalan pula masyarakat Pariaman di perantauan. Dalam setiap pelaksanaan pesta budaya Tabuik selalu dikunjungi oleh puluhan ribu hingga ratusan ribu orang.
NILAI-NILAI ADAT DAN NORMA YANG TERKANDUNG DALAM TABUIK
Nilai-nilai Adat yang Ada Pada Tabuik
Unsur-unsur utama tabuik, seperti; bungo salapan, tonggak atam, tonggak serak, jantuang-jantuang, pasu-pasu, dan ula gerang yang berjumlah delapan merupakan gambaran perpaduan antara adat dan agama, sehingga nilai-nilai adat yang terkandung dalam tabuik tidak jauh dari nilai-nilai agama. Adapun kaitannya dengan ajaran agama Islam nilai-nilai adat yang ada pada tabuik yaitu, aturan adat nanampek mencakup perilaku bertutur kata dalam masyarakat yang sangat dijunjung tinggi masyarakat Pariaman seperti; kato mandata, kato mandaki, kato malereang, dan kato manurun.
Oleh karena itu, dalam setiap pelaksanaan pesta tabuik unsur-unsur yang terlibat dalam upacara ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai (cerdik pandai), unsur tokoh masyarakat lainnya, pemuda, urang sumando, dan anak-anak sehingga diperlukan mempedomani kato nan ampek. Kata yang empat (kato nan ampek) dimaksud pada agama dapat dikaitkan dengan beberapa hal yaitu berpedoman pada dasar hukum yang empat; (wajib, sunat, mubah, dan makruh).
Bahkan bisa dikaitkan dengan empat pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad S.A.W, yang disebut dengan
Khulafaurrasyidin yaitu; Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian empat mazhab yaitu Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki.
Selain prinsip-prinsip diatas, adalagi prinsip yang ditekankan dalam beribadah yaitu syariat, hakikat, dan makrifat. A.A. Navis (dalam Asril Mukhtar 2014: 68) menyebutkan, bahwa orang Minangkabau adalah suku bangsa yang masih setia kepada adat-istiadat nenek moyangnya. Kesetiaan mereka pada adat diungkapkan dalam mamangan; “hidup dikanduang adaik, mati dikandung tanah” (Hidup dalam kandungan adat, mati berada dalam kandungan tanah).
Norma-Norma yang Ada Pada Tabuik
Persfektif pada masyarakat telah mengarahkan perhatian kita pada norma-norma sosial; karena dalam bentuk norma itulah berhadapan dengan individu sebagai unsur luar dan unsur yang membatasi perilaku mereka.
Norma-norma, aturan prosedural dan aturan perilaku dalam kehidupan sosial pada hakekatnya adalah bersifat
kemasyarakatan. Yang dimaksud bersifat kemasyarakatan adalah bukan aja karena norma-norma tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial tetapi juga karena norma-norma tersebut adalah pada dasarnya merupakan hasil dari kehidupan bermasyarakat. Norma-norma adalah bagian dari masyarakat.
Ia tumbuh dari proses kemasyarakatan, ia menentukan batasan-batasan dari perilaku dalam kehidupan masyarakat. Individu dilahirkan dalam suatu masyarakat dan disosialisasikan untuk menerima aturan-aturan dari masyarakat yang sudah ada sebelumnya. Individu menginternalisasikan aturan-aturan, menerima aturan-aturan itu sebagai standar tingkah laku yang benar dan yang salah dan ia dikendalikan oleh norma-norma itu tidak saja melalui rasa takut untuk merugikan sesamanya tetapi juga dengan melalui perasaan bersalah bila melanggar norma tersebut.
PERINGATAN ASYURA DI IRAN
Peringatan Asyura merupakan suatu peringatan untuk mengenang gugurnya Imam Husain di Karballa yang meninggalkan rasa sedih dan kedukaan yang mendalam bagi rakyat Iran yang mayoritas Syiah. Peringatan ini berlanjut sampai bulan Safar.
Pada awal bulan Muharram sejak malam pertama, mayoritas rakyat Iran melarutkan diri dalam majelis-majelis duka. Bulan Muharram bagi masyarakat Iran yang mayoritas bermazhab Syiah adalah bulan duka, bulan yang mengharu biru, bulan yang menggoreskan kenangan akan peristiwa paling pahit dalam sejarah Islam. Karena itu, bergantinya tahun hijriah yang seringkali dijadikan momen untuk bergembira dan saling mengucapkan selamat bagi umat Islam kebanyakan, tidak akan ditemukan dilakukan oleh warga Iran.
Rasa belasungkawa akan syahidnya Imam Husain as beserta keluarga dan sahabatnya yang terbantai di Karbala mereka tunjukkan bukan hanya dengan pakaian serba hitam yang mereka kenakan, namun juga pemasangan umbul-umbul bendera hitam, ornamen-ornamen yang dipasang di tepi-tepi jalan, masjid dan tempat-tempat umum yang berisi pesan duka Asyura, termasuk mencat mobil-mobil mereka dengan tulisan Husain, Zainab, Ali Asghar, Aba al-Fadhl Al Abbas dan nama tokoh-tokoh lainnya dalam peristiwa Karbala.Secara resmi, warga Iran memperingati peristiwa Asyura selama sepuluh hari berturut-turut, dari tanggal 1 sampai 10 Muharram.
Hari kesembilan dan hari kesepuluh dijadikan hari libur nasional. Selama kesepuluh hari tersebut, setiap sehabis shalat Isya berjama’ah, diadakan majelis-majelis duka. Ratusan warga berbondong-bondong memadati masjid-masjid dan Husainiyah tempat diadakannya majelis-majelis duka tersebut. Acara dibuka dengan tilawah Alquran dan dilanjutkan dengan ceramah agama yang berisi pesan dan hikmah dari kisah-kisah kepahlawanan Imam Husain as beserta keluarga dan sahabatnya di padang Karbala. Disaat Khatib menyampaikan ceramahnya, tidak jarang terdengar suara isak tangis dari para jama’ah. Peristiwa kematian Imam Husain as meski sudah berlalu hampir 1400 tahun lalu, namun bagi mereka tampak seolah-olah baru terjadi kemarin sore. Setelah mendengarkan ceramah, lampu-lampu dipadamkan, dan hanya menyisakan sedikit cahaya.
Dalam suasana nyaris gelap itu, seseorang tampil untuk membacakan maqtal atau syair-syair duka. Pada prosesi ini, para jama’ah dilibatkan. Kesemuanya berdiri dan mengiringi kidung duka yang dinyanyikan sembari menepuk-nepuk dada. Suasana haru semakin menyeruak setiap disebutkan nama al Husain.
Diakhir acara, panitia akan membagikan kotak makanan dan disantap bersama. Majelis ini berlangsung selama sepuluh malam berturut-turut. Dalam majelis ini tidak adegan melukai diri, tidak ada aksi memukul badan dengan benda tajam hingga berdarah-darah. Ulama-ulama Iran memberikan fatwa akan keharaman melukai diri apalagi sampai berdarah-darah dalam memperingati hari Asyura. Fatwa itupun menjadi hukum postif bagi kepolisian Iran untuk membubarkan dan menangkapi mereka yang melakukan aksi melukai diri dalam majelis Husaini.
Sayang, karena perbuatan segelintir Syiah di Irak, Afghanistan dan Pakistan yang masih juga memperingati Asyura dengan tradisi melukai diri, Syiah pun diidentikkan dengan perbuatan irasional tersebut. Patut diketahui, kalau memang melukai diri dianggap ibadah yang afdhal dilakukan pada peringatan Asyura, maka yang paling pertama melakukannya adalah ulama-ulama dan kaum terpelajar dari kalangan Syiah, dan itu harusnya bermula dari Iran, sebagai sentral keilmuan penganut Syiah. Faktanya, tidak satupun ulama Syiah yang melakukannya, yang ada justru memfatwakan keharamannya. Dan kalau memang itu sudah menjadi bagian dari tradisi Syiah, maka tentu jumlah orang-orang Syiah yang melakukannya jauh lebih banyak dari yang tidak. Faktanya, yang melakukannya tidak seberapa, dan itu hanya ada diluar Iran, tidak di Iran.
Mengenang Ali Asghar
Pada hari Jum’at pagi, dari kesepuluh hari awal Muharram itu, diperingati secara khusus kesyahidan Ali Asghar, putra Imam Husain as yang masih berusia beberapa bulan namun turut menjadi korban kebengisan tentara-tentara Yazid. Dikisahkan, bayi Imam Husain As tersebut dalam kondisi kehausan, sebab sumber mata air berada dalam penguasaan tentara Yazid dan tidak mengizinkan kafilah Imam Husain untuk mengambil airnya barang setetes pun. Kasihan dengan bayinya yang merengek kehausan, Imam Husain as pun memeluk dan menggedongnya.
Beliau menghadap pasukan Yazid untuk diizinkan mengambil air, setidaknya untuk menghilangkan dahaga bayinya tersebut, sembari memperlihatkan kondisi Ali Asghar yang dicekik kehausan. Bukannya iba, seorang tentara Yazid malah melezatkan anak panah yang tepat mengenai leher bayi Imam Husain As tersebut, yang kemudian mati seketika dipelukan ayahnya. Kejadian tragis ini secara khusus diperingati pada hari Jum’at pertama bulan Muharram
Ribuan ibu dengan bayi-bayinya yang berkostum pakaian Arab paduan warna hijau dan putih lengkap dengan surban dan ikat kepala yang bertuliskan Ali Asghar, memadati masjid-masjid dan tanah-tanah lapang. Ditempat itu mereka mendengarkan ceramah khusus mengenai kisah kesyahidan Ali Asghar dan betapa pedihnya hati Imam Husain As melihat kematian bayinya yang tragis di pelukan sendiri, justru oleh mereka yang mengaku sebagai muslim dan pengikut Nabi Muhammad saw.
Suasana haru dan emosional tidak terhindarkan ketika kisah yang menyayat hati itu kembali disuguhkan. Ibu-ibu tersebut menangis sambil mendekap bayi mereka masing-masing sembari membayangkan kesedihan dan kepiluan hati Imam Husain melihat bayinya tergeletak tanpa nyawa. Dalam acara ini tidak ada adegan orangtua mengiris bayinya dengan pedang hingga berdarah, hanya sekedar untuk merasakan kepedihan Imam Husain. Foto yang beredar di media sosial yang menggambarkan kepala seorang anak yang berdarah-darah karena dilukai oleh orangtuanya sendiri, kejadiannya bukan di Iran. Itu adalah kelakuan orang-orang yang ekstrim yang justru mendapat kecaman dari ulama Syiah sendiri, yang tidak bisa menjadi representatif semua Syiah pasti melakukan itu.
Pada hari kesembilan Muharram -yang dikenal juga dengan sebutan Tasu’a Husaini- dan pada hari kesepuluh –dikenal dengan sebutan hari Asyura- karena menjadi hari libur nasional, jalan-jalan raya dipadati oleh ribuan warga dengan pakaian serba hitam yang berjalan kaki. Disepanjang jalan, terdapat posko-posko yang menyediakan minuman panas dan makanan ringan secara gratis. Satu-dua jam menjelang shalat dhuhur masjid-masjid dan juga kantor-kantor resmi ulama-ulama Marja dipadati lautan manusia. Ditempat-tempat itu mereka berkumpul untuk menumpahkan rasa haru dan kesedihan yang sama. Suara isak tangis yang tak tertahan terdengar dimana-mana disaat khatib menyampaikan detik demi detik proses terbantainya Imam Husain As di Karbala. Bagaimana saat dadanya yang telah penuh dengan sayatan pedang ditindih dan kemudian kepalanya dengan tebasan pedang dipisahkan dari tubuhnya.
Tangisan mereka dengan tragedi memilukan yang menimpa cucu Nabi Muhammad saw tersebut bukan untuk menyesal atas apa yg telah terjadi melainkan upaya merawat dan menjaga ingatan dan kenangan atas perjuangan dan pengorbanan keluarga Nabi dalam menjaga eksistensi agama ini.
Bagi rakyat Iran, tangisan mengenang al Husain pada peringatan Asyura bukanlah tangisan cengeng. Melainkan tangisan yang justru membakar semangat perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan sebagaimana yang diwariskan Imam Husain as melalui tragedi Karbala.
[Dirangkum dari Buku Perayaan Tabot di Kota Bengkulu Dalam Persfektif Struktural Fungsional karangan DR. H. Rohidin Mersyah dan Dr. H. Herawansyah Ikram dan berbagai sumber-sumber lain]