Metode dalam Penafsiran Hukum Pidana

Metode dalam Penafsiran Hukum Pidana (Photo : Andre)

IndonesiaInteraktif.com -- Penafsiran hukum atau interpretasi adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya. Hukum harus ditegakkan di tengah-tengah masyarakat, dan dalam upaya penegakkan hukum itu hakim sebagai penegak hukum akan dihadapkan pada pelbagai kaidah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Hukum yang dikodifikasikan umumnya bersifat statis. Ketidaksempurnaan  dan ketidaklengkapan senantiasa menjadi hukum tertulis, sekalipum kodifikasi telah diatur sedemikian rupa. Hal ini di sebabkan oleh adanya hal-hal yang tidak atau belum terjadi pada waktu kodifikasi seperti aliran listrik  yang ada sekarang. Dengan demikian aliran listrik yang dikontrol tanpa izin dikatakan sebagai pencuri,yang diatur dalam pasal 362 KUHP pidana.

Dalam menjalankan tugasnya, hakim harus berpedoman kepada kodifikasi agar mendapat kepastian hukum.dalam hal ini, Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan perkara berpegang pada Undang-Undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid (ketertarikan yang bebas).

Tindakan hakim tersebut dilindungi pasal 20 AB (yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang). Dan pasal 22 AB (mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim menolak mengadili perkara tersebut dapat dituntut.

Apabila undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum (analogi), penghalisan hukum (rechtsverfijning dan argumentum a contracio. Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat Undang-Undang.

Isi Undang-Undang kadang-kadang tidak jelas susunan katanya, juga tidak jarang mempunyai lebih dari satu arti. Oleh karena itu, penafsiran atau interpretatie  terhadap Undang-Undang itu perlu. Ada beberapa metode penafsiran hukum yang lazim diterapkan yaitu :

1.      Penafsiran Gramatikal, yaitu penafsiran berdasarkan tata bahasa, yang karena itu hanya mengingat bunyi kata-kata dalam kalimat itu sendiri (penjelasan Undang-Undang[5] menurut susunan kata-katanya)[6]. Dengan menggunakan interpretasi gramatikal, maka pengadilan dapat menyimpulkan bahwa;

a.Naskah Undang-Undang tersebut jelas mengatur perkaranya; atau

b.Ada dua naskah atau lebih solusi/pendektan yang dapat dipilih; atau

c.Naskah Undang-Undang trsebut, yang tersusun dalam kalimat, tidak mudah terpengaruh oleh soslusi. Contoh suatu peraturan melarang orang memparkirkan kendaraannya di suatu tempat.

2.      Penafsiran Historis atau Sejarah, adalah meneliti sejarah dari Undang-Undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi dua yaitu :

a. Sejarah hukum, konteks, perkembangan yang telah lalu dari hukm tertentu seperti KUHP, BW, hukum romawi dan sebagainya.

b. Sejarah Undang-Undang, yaitu penelitian terhadap pembentukan Undang-Undang tersebut, seperti ketentuan denda dalam KUHP pidana, sekarang dikalikan lima belas mendekati harga-harga pada waktu KUHP Pidana itu dibentuk.

Contoh : seseorang yang melanggar okum didenda sebesar Rp. 500,-, maka denda sebesar itu jika diterapkan pada zaman sekarang jelas tidak sesuai, oleh karena itu harus ditafsirkan sesuai dengan keadaan harga yang sekarang ini.

3.      Penafsiran Sistematis, yaitu dengan cara mempelajari sitem dan rumusan Undang-Undang ; yang meliputi:

1. Penalaran analogi dan penalaran a kontario. Penggunaan a kontario yaitu  memastikan sesuatu yang tidak disebut oleh pasal undang-undang secara kebalikan. Sedangkan analogi berarti pengluasan berlakunya kaidah Undang-Undang.

2. Penafsiran ekstensif dan restriktif (bentuk-bentuk yang lemah terdahulusecara logis tak ada perbedaan).

3.Penghalusan atau pengkhususan berlakaunya undang-undang.

Contoh: asas okumy dalam pasal 27 KUHPerdata menjadi dasar pada pasal 34, 60, 86, dan KUHPerdata.

4.      Penafsiran Teleologis/Sosiologis, yaitu penafsiran berdasarkan  maksud atau tujuan dibuatnya Undang-Undang itu dan ini meningkatkan kebutuhan manusia yang selalu berubah menurut masa, sedangkan bunyi Undang-Undang tetap dan tidak berubah. Contoh walaupun Undang-Undang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan akan tetapi jika Undang-Undang itu masih berlaku, maka tetap diterapkan terhadap kejadian atau peristiwa masa sekarang.

5.      Penafsiran Authentic (Sahih dan Resmi), yaitu membersihkan penafsiran yang pasti sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang itu sendiri. Misal pasal 98 KUHP, dinyatakan malam, hal ini yang dimaksud adalah waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit, dan pasal 100 KUHP, dinyatakan binatang ternak, yang dimaksudkan di sini adalah binatang yang berkuku satu, mamah biak, dan babi.

6.      Penafsiran Ektensis (Luas), Yaitu menafsirkan berdasarkan luasnya arti kata dalam peraturan itu, sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkannya, seperti : aliran listrik dapat dimasukkan kedalam kata benda, karena itu ada yang berwujud dan yang tidak berwujud. Contoh aliran listrik termasuk benda.

7.      Penafsiran Analogi, sesungguhnya hal ini sudah tidak termasuk interpretasi, karena analogi sama dengan qiyas, yaitu okum ibarat dengan kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya,  sehingga sesuai peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian di anggap sesuai dengan bunyi aturan tersebut, misalnya, menyambung atau menyantol aliran listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik. Misalnya: Hakim cari Undang-Undang untuk yang tepat untuk mengadili perkara kalau Undang-Undang tidak ada, maka ia lari ke:

a.       Yurisprudensi;

b.      Dalil okum adat;

c.       Melakukan Undang-Undang secara analogi (kontruksi okum).

Hakim kalau dalam melakukan Undang-Undang secara analogi ini harus berhati-hati dalam penggunaannya, maka ada hal-hal yang harus diperhatikan berikut ini:

a.        Apabila ada perkara yang dihadapi dan perkara yang diatur oleh Undang-Undang cukup persamaannya, sehingga penerapan asas yang sama dapat dipertanggung jawabkan serta tidak bertentangan dengan asas keadilan.

b.      Apabila keadilan yang tertarik dari analogi okum itu serasi dan cocok dengan sitem serta maksud perundang-undangan yang ada.

Tujuan melakukan secara analogi adalah untuk mengisi kekosongan dalam Undang-Undang.

8.      Penafsiran Restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata dalam peraturan itu, misalnya, kerugian tidak termasuk kerugian yang terwujud seperti sakit, cacat, dan sebagainya.

9.      Penafsiran Nasional, yaitu cara penafsiran dengan menilik sesuai tidaknya dengan okum okum yang berlaku. Contoh pasal 570 KUHPerdata sekarang harus ditasirkan menurut hak milik yang sesuai dengan okum Indonesia yaitu pasal 20 ayat1 Undang-Undang Pokok Agraria.

10.  Penafsiran a Contrario (Menurut Pengingkaran), yaitu suatu cara menafsirkan Undang-Undang yang didasarkan pada perlawanan pengertuian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu Undang-Undang. Berdasarkan perlawanan (pengingkaran) itu ditarik kesimpulan bahwa soal yang dihadapi tiu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud/ berada di luar pasal itu. Misalnhya pasal 15676 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Penjualan benda yang disewakan tidak menyebabkan putusannya sewa menyewa”. Bagaimana kalau peristiwa penghibahan? Di dalam pasal 1576 KUH Perdata itu tertulis “penjualan” bukan “penghibahan.” Contoh lain pasal 34 KUH Perdata berbunyi bahwa; “seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebekum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan.”

Bagaimana halnya bagi seorang laki-laki? Waktu tunggu 300 hari? Jawabannya tidak, karena pasal 34 KUH Perdata itu tidak menyebutkan bagi laki-laki, tetapi harus ditujukan kepada seorang perempuan.

Maksud waktu menunggu dalam pasal 34 KUH Perdata bagi seorang perempuan itu adalah untuk mencegah adanya keraguan mengenai kedudukan sang anak, ditetapkan waktu 300 hari karena waktu itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama.

Hal-hal tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa dasar berfikir a contrario itu merupakan lawan dari menafsirkan Undang-Undang secara analogis. Karena dasar berfikir a contrario itu sama sekali bukan dalil, bahwa pasal untuk suatu peristiwa tertentu juga dapat diadakan peraturan tersendiri itu, sudah bukti yang jelas bahwa peng Undang-Undang tidak menghendaki peristiwa yang serupa itu termasuk diatur juga.

11.  Penafsiran Perbandingan yaitu penafsiran komparatif dengan cara membandingkan penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang.

Penulis : Andre

Editor : Daddy