Mufran Imron, Tersangka Koruptor Dana Hibah KONI Bengkulu Jika Kerugian Negara Rp 11 miliar
Indonesiainteraktif.com - Ditangkapnya Mufran Imron oleh penyidik Direktorat Reskrimsus Polda Bengkulu dengan di bantu oleh penyidik Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya pada hari Rabu (5/5/2021) di Hotel dan Apartemen Aston Titanium Square, Pasar Rebo, Jakarta Timur, membuat orang bertanya-tanya berapa prediksi tuntutan Jaksa yang akan diberikan kepada Mufran Imron saat penuntutan nanti di Pengadilan ?.
Mengenai penuntutan terhadap tersangka korupsi, pihak Kejaksaan Agung punya ketentuan tersendiri berdasarkan Surat Edaran (SE) Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-003/A/JA/02010 tanggal 25 Februari 2010 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi.
Memperhatikan uang negara yang tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh Mufran Imron sebagai Ketua KONI Provinsi Bengkulu dari total bantuan hibah untuk KONI Provinsi Bengkulu dengan total Rp 15 Miliar yaitu Rp 11 miliar, maka berdasarkan Surat Edaran yang diterbitkan Jaksa Agung tersebut prediksi tuntutan untuk Mufran Imron berkisar antara 10 tahun 6 bulan sampai 13 tahun 6 bulan.
Mengenai rentang tuntutan Jaksa ini dapat dilihat pada Surat Edaran di atas, halaman 5 point : 4. untuk kerugian keuangan negara paling sedikit lebih dari Rp 10.000.000.000, 00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 20.000.000.000, 00 (dua puluh miliar rupiah), terdakwa dituntut :
4.1. Apabila terdapat pengembalian/ penyelamatan kerugian keuangan negara paling sedikit lebih dari 75% sampai dengan paling banyak 100%; dan terdakwa telah memperkaya diri sendiri dari hasil kejahatannya paling sedikit lebih dari 0% sampai paling banyak 25% dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun 6 (enam) bulan (Lampiran l baris 4 kolom a).
4.2. Apabila terdapat pengembalian/ penyelamatan kerugian keuangan negara paling sedikit lebih dari 50% sampai dengan paling banyak 75%; dan terdakwa telah memperkaya diri sendiri dari hasil kejahatannya paling sedikit lebih dari 25% sampai paling banyak 50% dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun 6 (enam) bulan dan paling lama 8 (delapan) tahun 6 (enam) bulan (Lampiran l baris 4 kolom b).
4.3. Apabila terdapat pengembalian/ penyelamatan kerugian keuangan negara paling sedikit lebih dari 25% sampai dengan paling banyak 50%; dan terdakwa telah memperkaya diri sendiri dari hasil kejahatannya paling sedikit lebih dari 50% sampai paling banyak 75% dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun 6 (enam) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun 6 (enam) bulan (Lampiran l baris 4 kolom c).
4.4. Apabila terdapat pengembalian/ penyelamatan kerugian keuangan negara paling sedikit lebih dari 0% sampai dengan paling banyak 25%; dan terdakwa telah memperkaya diri sendiri dari hasil kejahatannya paling sedikit lebih dari 75% sampai paling banyak 100% dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun 6 (enam) bulan dan paling lama 13 (tiga belas) tahun 6 (enam) bulan (Lampiran l baris 4 kolom d).
SE di atas diterbitkan untuk mencegah atau meminimalkan disparitas tuntutan pidana. Menurut Cheang Molly (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998), disparity of sentencing atau disparitas pidana, adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa pembenaran yang jelas.
Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.[1] Kerugian keuangan negara yang dibayarkan ini dikenal dengan istilah uang pengganti.
Sebagaimana pernah disebutkan dalam artikel Siapa Menanggung Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi?, Purwaning M. Yanuar dalam bukunya Pengembalian Aset Hasil Korupsi mengatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen pidana menurut UU Pemberantasan Tipikor dilakukan melalui proses penyitaan, perampasan, dan aturan pidana denda (hal. 150).
Memang, kerugian negara itu ditanggung sendiri oleh terpidana korupsi yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi melalui sanksi pidana yang dijatuhkan kepadanya. Sebagamana dijelaskan dalam artikel tersebut, hakimlah yang menentukan berapa jumlah uang pengganti yang harus terpidana korupsi bayar dan hukuman lainnya untuk mengembalikan kekayaan negara yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi melalui putusannya. Artinya, pengembalian kekayaan negara atas tindak pidana korupsi itu dilakukan setelah ada proses pidana dan putusan pengadilan.
Lalu bagaimana jika seorang koruptor atas inisiatifnya sendiri mengembalikan uang yang telah dia korupsi sebelum putusan pengadilan? Apakah kasus koruptor tersebut masih terus dilakukan proses hukumnya sampai putusan pengadilan atau justru dibebaskan ?.
Sebelumnya menjawabnya, mari kita simak terlebih dahulu pasal-pasal yang menjerat pelaku kejahatan korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”) sebagai berikut :
Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor :
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.[2]
Pakar Hukum Acara Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir dalam artikel Pengurangan Hukuman Syaukani Sesuai Doktrin berpendapat bahwa pengembalian uang atau kerugian negara oleh terdakwa dapat menjadi alasan bagi hakim untuk mengurangi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa yang bersangkutan. Pengembalian tersebut, menurut Mudzakkir, berarti ada iktikad baik untuk memperbaiki kesalahan. Ia menegaskan pengembalian uang itu hanya mengurangi pidana, tetapi bukan mengurangi sifat melawan hukum.
Dalam praktek, lanjut Mudzakkir, pengembalian hasil tindak pidana sering dikaitkan dengan waktunya. Bila pengembalian dilakukan sebelum penyidikan dimulai, seringkali diartikan menghapus tindak pidana yang dilakukan seseorang. Namun, bila dilakukan setelah penyidikan dimulai, pengembalian itu tidak menghapus tindak pidana. Menurutnya, dikembalikan sebelum atau sesudah penyidikan itu tetap melawan hukum. Misalnya seseorang mencuri, lalu mengembalikan barang curian sebelum orang lain tahu, itu tetap tindak pidana.
Dalam artikel yang sama, praktisi hukum T Nasrullah berbeda pendapat soal waktu pengembalian hasil tindak pidana. Khusus dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian kerugian negara sebelum penyidikan bisa menghapus tindak pidana. Salah satu unsur korupsi, lanjutnya adalah unsur kerugian negara. Bila sudah dikembalikan berarti unsur tersebut sudah hilang. Tapi syaratnya harus sebelum ada penyidikan.
Jika penyidikan telah dimulai, ia menilai pengembalian uang hanya mengurangi sanksi pidana saja. Alasannya, pengembalian kerugian negara dianggap sebagai timbal balik karena telah meringankan tugas negara. Tidak mempersulit dari segi biaya, waktu, tenaga dan pikiran negara. Pengembalian yang juga dianggap sebagai pengakuan bersalah si terdakwa.
Jadi, meskipun pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) itu telah mengembalikan keuangan negara yang telah ia korupsi sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, proses hukumnya tetap berjalan karena tindak pidananya telah terjadi. Akan tetapi, pengembalian uang yang telah dikorupsi dapat menjadi faktor yang meringankan bagi terdakwa saat hakim menjatuhkan putusan.
Dasar hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
(DR-HRX)