Indonesiainteraktif.com, Bengkulu -- Pilkada 2024 di Provinsi Bengkulu pada Rabu (27/10/2024) carut marut, diduga sangat tidak independen dan menguntungkan pasangan calon Helmi Hasan dan Mian. Hal ini sangat mencederai demokrasi dan netralitas yang digaungkan Presiden Prabowo.
Surat KPU RI Provinsi Bengkulu Nomor : 734/PL.02.2-SD/17/2/2024 tanggal 26 November 2024 perihal Pemberitahuan Calon Gubernur Berstatus Tersangka sangat merugikan pasangan calon Rohidin Mersyah - Meriani. Akibat surat tersebut banyak menyebabkan pemilih yang menjadi golput dan “terpaksa” mengalihkan pilihannya bukan kepada pasangam Rohidin Mersyah - Meriani tetapi kepada pasangan Helmi Hasan - Mian.
“Apa yang dilakukan oleh KPU itu sangat mempengaruhi pemilih dan sangat tidak independen dan mencederai demokrasi,” ujar Dr. Ir. H. Herawansyah, S.Ars., M.Sc., MT, IAI, Doktor Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya,”
Lanjut Herawansyah “Kalau memang netral tidak perlu dengan embel-embel status tersangka, biarkan pilkada berjalan independen dan tanpa embel-embel. Andaikan memang benar nanti Rohidin Mersyah menjadi tersangka, masih ada Mediani yang menjadi wakil Gubernur yang bisa menggantikan Rohidin Mersyah sebagai Gubernur. Saya sangat menyayangkan pola piikir KPU dalam menyikapi hal ini. Surat KPU ini sangat berpengaruh dan menyebabkan bayak pemilih yang menjadi golput dan membatalkan pilihannya bakan beralih pilihan dengan dalih tidak ada pilihan lain,” kata Herawansyah.
Presiden Prabowo Harus Turun Tangan dan Membatalkan Pilkada Gubernur Bengkulu
“Berkenaan dengan terjadinya pencederaan demokrasi ini, Presiden Prabowo harus segera turun tangan. Kalau ini tidak dituntaskan di kuatirkan animo rakyat Indonesia untuk mengikuti Proses Pilkada menjadi berkurang. Saya pikir Pilkada tahun ini, lebih buruk dari jaman Orde Baru yang sangat terpimpin,” ujar Herawansyah.
Berkaitan dengan pengumuman status tersangka Rohidin Mersyah yang diumumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), Jecky Haryanto, SH., MH, penasehat hukum Tim Romer dan Rohidin Mersyah menyampaikan klarifikasinya.
“Bahwa surat KPU RI itu jelas terdapat pelanggaran. Karena KPU RI telah melakukan pengaturan, karena disitu disebutkan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan untuk status tersangka diumumkan kepada pemilih, kemudian KPU RI ini mengatur juga bahwa ketentuan tersebur mengatur juga kepada tersangka dan terdakwa, ini juga merupakan pengaturan yang dilakukan oleh KPU RI, yang ini juga tidak bisa dilakukan dengan surat seperti ini, jadi kami menilai bahwa KPU RI yang juga diteruskan oleh KPU Provinsi dan jajaran ke bawah dengan melaksanakan perintah tersebut maka kami anggap adalah sebuah pelanggaaran. Khususnya KPU RI sebagai induk pelaksana dari pemilihan ini,” ujar Jeki Haryanto.
Lanjut Jecky Haryanto, “Pasangan Rohidin Mersyah - Meriani merasa dirugikan, karena asosiasi masyarakat, atau tafsir masyarakat atau masyarakat mengartikan bahwa tersangka ini pada umumnya adalah orang yang bersalah, padahal di tersangka itu masih mengandung atau masih digunakan azas praduga tidak bersalah, tetapi masyarakat awam apalagi masyarakat di desa-desa, tidak akan memahami hal in dengan baik. Jadi ketika hal ini diumkan di TPS, jelas pihak Rohidin - Meriani dirugikan dan ini berpengaruh kepada pemilih untuk memilih pasangan Rohidin - Meriani, yang awalnya akan memilih pasangan Rohidin - Meriani, akhirnya akibat pengumuman KPU menjadi tidak memilih,” pungkas Jecky Haryanto.
Ditulis Oleh :
Rindu Gita Tanzia Pinem, SH., MH, C.P.A, C.P.PM
Editor :
Cyntya Pramesti, S.AP.
Lampiran :
Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan kebijakan penundaan proses hukum terhadap calon kepala daerah selama tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum)
Kejagung, menyampaikan bahwa kebijakan yang diambil adalah dalam rangka menjaga objektivitas proses demokrasi dari black campaign (kampanye hitam) yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik pihak tertentu.
Penundaan proses hukum dilakukan sesuai dengan Instruksi Jaksa Agung Nomor 6 Tahun 2023 tentang Optimalisasi Peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam Mendukung dan Menyukseskan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak 2024, serta Memorandum Jaksa Agung Nomor: B 127/A/SUJA/08/2023 tentang Upaya Meminimalisir Dampak Penegakan Hukum terhadap Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024. Dalam memorandum yang disampaikan pada tahun 2023, Jaksa Agung, ST Burhanuddin, meminta agar penanganan laporan pengaduan dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) yang melibatkan calon kepala daerah dilakukan secara hati-hati dan cermat. Oleh karena itu, diperlukan penundaan proses pemeriksaan yang dimulai sejak penetapan sebagai calon sampai dengan selesainya seluruh tahapan pemilihan.
Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, menyampaikan bahwa pihaknya juga akan menunda proses hukum calon kepala daerah selama tahapan Pilkada 2024 berlangsung. Akan tetapi, kebijakan penundaan tersebut tidak berlaku bagi calon kepala daerah yang telah berstatus tersangka sebelum pendaftaran dilakukan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penyidikan terhadap calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah yang berstatus tersangka akan tetap dijalankan sesuai dengan timeline yang telah disusun. Saat ini ada satu calon kepala daerah yang sudah berstatus tersangka, yaitu Bupati Situbondo.
Adapun status hukum sebagai tersangka memang belum diatur secara tegas di dalam undang undang. Saat ini persyaratan menjadi calon kepala daerah diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi calon kepala daerah adalah terkait dengan status hukum calon kepala daerah yang bersangkutan, yaitu tidak pernah berstatus sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tepat; tidak sedang dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK). Adapun bagi mantan terpidana masih diberikan kesempatan untuk menjadi calon kepala daerah dengan syarat telah jujur dan terbuka menyampaikan statusnya sebagai mantan terpidana kepada publik.
Sumber :
hukumonline.com, 02 September 2024; kompas.com, 04 September 2024; metro.tempo, 02 dan 03 September 2024; news.detik.com, 02 September 2024; tirto.id, 05 September 2024.