PWI Tersandera Dualisme: Berebut Kursi, Lupa Fungsi

Hendry Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang, keduanya akhirnya sepakat untuk berdamai lewat penandatanganan Kesepakatan Jakarta pada Jumat malam, 16 Mei 2025. Foto : Herawansyah / IndonesiaInteraktif.com

 

IndonesiaInteraktif.com, Bengkulu — Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), organisasi wartawan tertua di Tanah Air, kini menghadapi krisis legitimasi dan kepercayaan. Setelah lebih dari setahun terjebak dalam konflik internal dan dualisme kepemimpinan antara Hendry Ch Bangun dan Zulmansyah Sekedang, keduanya akhirnya sepakat untuk berdamai lewat penandatanganan Kesepakatan Jakarta pada Jumat malam, 16 Mei 2025.

 

 

Dokumen tersebut memuat komitmen untuk menyelenggarakan Kongres PWI paling lambat 30 Agustus 2025. Namun, banyak yang menilai langkah ini lebih mirip “gencatan senjata” ketimbang rekonsiliasi sejati, apalagi konflik yang terjadi selama ini bukan hanya soal perbedaan visi, tetapi diduga terkait pengelolaan dana Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang melibatkan aliran dana dari BUMN.
 

“Ini demi persatuan,” ujar Hendry usai penandatanganan, seraya mengabaikan fakta bahwa perpecahan justru bermula dari isu transparansi dana. Zulmansyah pun menyebut momen ini sebagai “sejarah”, mengisyaratkan bahwa belum pernah sebelumnya konflik di tubuh PWI berlangsung sedalam dan selama ini.

 

Di tengah kisruh, kepengurusan pusat disibukkan dengan penyusunan Steering Committee dan Organizing Committee untuk kongres mendatang—proses yang dinilai lebih menyerupai lobi-lobi politik menjelang pemilu, ketimbang mekanisme organisasi profesi. Beberapa pengamat sinis menyebut SC dan OC kini lebih cocok diartikan sebagai “Syahwat dan Cashflow” dibanding “Solidarity and Credibility”.

 

Bagi sebagian besar anggota di daerah, drama di pusat terasa jauh dan tak relevan. Banyak dari mereka bahkan tak mengetahui siapa ketua PWI saat ini. Yang lebih mereka perhatikan hanyalah UKW gratis yang konon bisa menyertakan “bonus” kuota internet atau bahkan amplop.

 

Pengamat media menilai konflik ini merupakan refleksi dari kegagalan PWI menjaga idealisme profesi di tengah godaan kekuasaan dan proyek. Dana UKW yang seharusnya meningkatkan kualitas jurnalistik justru menjadi sumber perpecahan internal.

 

Di sisi lain, masyarakat tetap menjadi pihak yang paling konsisten: tidak peduli. “Apakah PWI satu, dua, atau tiga kepala, yang penting berita tidak dipesan dan wartawan tidak menjadi makelar opini,” ujar seorang akademisi media.

 

Kini, publik menanti apakah Kesepakatan Jakarta benar-benar menjadi jalan keluar atau hanya jeda menjelang drama selanjutnya. Sebab jika kongres nanti gagal karena kas kosong atau panitia ngambek akibat fee tak cair, bukan mustahil PWI perlu rebranding—dari Persatuan Wartawan Indonesia menjadi Persekutuan Wilayah Investasi.

 

Ditulis Oleh :

Dr. Ir. H. Herawansyah, S.Ars., M.Sc., MT., IAI. dan

Editor :

Adv. Rindu Gita Tanzia Pinem, SH., MH, CPA, CPM.