IndonesiaInteraktif.com, Jakarta - Dalam paradigma klasik negara modern, intelijen adalah benteng terakhir kedaulatan. Ia menjaga rahasia negara, membaca ancaman, dan melindungi integritas bangsa dari infiltrasi asing. Namun di era kecerdasan buatan (AI), muncul paradoks besar: teknologi yang diciptakan untuk memperkuat pertahanan justru menjelma menjadi celah kebocoran paling strategis.
Kini, ancaman terhadap kedaulatan tidak lagi datang dari invasi militer atau spionase manusia, melainkan dari penetrasi algoritmik — sistem kecerdasan buatan yang bekerja senyap di balik arsitektur data global. Para abdi negara, akademisi, dan aparat pertahanan, tanpa sadar, sering kali menjadi bagian dari arus data transnasional yang perlahan membocorkan rahasia bangsanya sendiri.
Kedaulatan yang Tergerus di Ruang Siber
Saskia Sassen (1999) dalam Digital Networks and Power menegaskan bahwa kekuasaan di era digital telah bergeser dari wilayah teritorial menuju jaringan kekuasaan informasi (networks of power). Negara yang tidak menguasai arus data akan kehilangan kendali atas kedaulatan digitalnya.
Ketergantungan lembaga-lembaga negara terhadap platform berbasis AI global seperti ChatGPT, Google Gemini, Palantir, atau Copilot bukan sekadar urusan efisiensi. Ia menyentuh ranah kedaulatan epistemik — persoalan mendasar tentang siapa yang sesungguhnya mengendalikan pengetahuan dan memori digital bangsa.
Fenomena ini, sebagaimana dijelaskan oleh Garcia, Gamboa, dan Castillo (2025) dalam Digital Imperialism: Neurosymbolic Artificial Intelligence, International Security, Information Flows, and Social Media in the Twenty-First Century, merupakan bentuk baru imperialisme digital. Negara-negara berkembang tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pemasok data mentah yang memperkaya algoritma milik negara adidaya. Rahasia, strategi, dan kebijakan dalam negeri perlahan terserap ke dalam black box global yang dikuasai korporasi raksasa di Amerika Serikat, Israel, dan Tiongkok.
Jejak Data dan Lubang Kedaulatan
Untuk memahami ancaman ini, bayangkan perjalanan sepotong data strategis—misalnya laporan intelijen—sejak diketik oleh seorang analis pertahanan hingga tersimpan di pusat data lintas benua.
Sang analis, demi efisiensi, menggunakan bantuan AI publik untuk merapikan redaksi laporan. Tanpa disadari, setiap kata yang diketik, setiap istilah teknis yang dijelaskan, meninggalkan jejak digital yang tak terhapus. Begitu laporan itu masuk ke sistem AI, informasi tersebut melewati lapisan akuisisi data, di mana teks, konteks, dan metadata dikumpulkan untuk melatih model algoritma.
Bagi sistem, tidak ada perbedaan antara dokumen strategis kementerian dan artikel akademik biasa. Tanpa perlindungan enkripsi, data rahasia bisa saja diperlakukan sebagai bahan pelatihan umum.
Kasus nyata terjadi di Korea Selatan pada 2023, ketika sejumlah insinyur pertahanan tanpa sengaja membocorkan potongan kode rahasia melalui ChatGPT. Data itu kemudian tersimpan di server luar negeri dan berpotensi diakses oleh pengembang model. Sejak saat itu, pemerintah Korea Selatan melarang penggunaan AI publik untuk pekerjaan sensitif—sebuah peringatan keras bahwa setiap interaksi digital adalah potensi kebocoran strategis.
Lebih berbahaya lagi, data yang dikirimkan ke sistem AI sering kali berpindah ke pusat pelatihan model di berbagai negara. Artinya, begitu data Indonesia masuk ke server asing, ia otomatis tunduk pada hukum negara tempat server itu berada. Dalam konteks ini, kedaulatan digital bukan lagi di tangan negara pemilik data, melainkan di tangan yurisdiksi asing.
Dengan pola kerja seperti itu, AI bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi ** medan perang baru ** tempat kedaulatan informasi dipertarungkan. Setiap teks yang diketikkan ke sistem AI publik sejatinya adalah tindakan menyerahkan sebagian kendali bangsa kepada kekuatan algoritmik global.
AI dan Ilusi Keamanan Negara
Jean Baudrillard (1981) dalam Simulacra and Simulation menulis bahwa teknologi modern menciptakan “ilusi realitas”—sesuatu yang tampak nyata namun sejatinya semu. Paradoks serupa kini menghantui lembaga pertahanan. Dengan mengandalkan AI, mereka merasa lebih efisien, tetapi tanpa sadar justru membuka pintu bagi penyusupan algoritmik yang tak kasatmata.
Luo (2021) dalam Journal of International Business Studies menyoroti bahwa sebagian besar lembaga pemerintahan di negara berkembang belum memiliki sistem keamanan data yang setara dengan kemampuan perusahaan teknologi global. Dengan kata lain, aparat negara kini beroperasi di ** medan digital yang tidak mereka kuasai **.
Kita tidak lagi berhadapan dengan mata-mata manusia, tetapi dengan mata-mata algoritmik — entitas nonmanusia yang terus belajar dari perilaku pengguna, melintasi batas negara, dan mampu melakukan pengawasan total tanpa disadari.
Abdi Negara dan Etika Kedaulatan Digital
Bagi para abdi negara, tantangan ini bukan sekadar teknis, tetapi juga etis dan ideologis. Loyalitas pada bangsa kini diuji dalam ruang digital yang dimiliki oleh korporasi global. Michel Foucault (2012) dalam Discipline and Punish memperkenalkan konsep panoptikon — sistem pengawasan yang membuat individu selalu sadar bahwa dirinya diawasi. Kini, panoptikon itu berubah arah: bukan negara yang mengawasi rakyat, melainkan korporasi yang mengawasi negara.
Setiap pejabat, akademisi, dan analis pertahanan bekerja di bawah pengawasan algoritma yang terus merekam perilaku mereka. Tantangan besar muncul: bagaimana menjaga kedaulatan sambil tetap memanfaatkan teknologi yang sama?
Reorientasi Strategis: Membangun Kedaulatan Digital
Paradoks intelijen di era AI menuntut reorientasi total terhadap cara negara memahami dan melindungi kedaulatannya di ruang digital.
Sudah tidak cukup lagi bersembunyi di balik jargon “modernisasi teknologi.” Negara harus menegakkan kembali prinsip dasar kedaulatan data: keamanan digital bukan proyek teknis, melainkan strategi geopolitik.
Langkah pertama: kembalikan pengolahan data strategis ke ranah tertutup (offline) yang steril dari interkoneksi global. Informasi terkait pertahanan dan intelijen harus dikelola tanpa ketergantungan pada platform publik. Ini bukan kemunduran, melainkan tindakan sadar untuk melindungi inti kedaulatan nasional.
Langkah berikutnya: bangun ekosistem AI nasional berbasis infrastruktur domestik. AI seharusnya menjadi alat kemandirian, bukan instrumen kolonialisme digital. Pengembangan model AI lokal di server nasional, dengan pengawasan etik dan keamanan berlapis, menjadi fondasi menuju kemerdekaan digital sejati.
Selain itu, perlu reformulasi pendidikan pertahanan dan intelijen. Para abdi negara harus memahami bukan hanya cara menggunakan teknologi, tetapi juga cara menolak ketergantungan terhadapnya. Literasi algoritmik adalah benteng baru kedaulatan: memahami bagaimana data dikumpulkan, diolah, dan digunakan.
Dalam diplomasi luar negeri, diplomasi digital harus menjadi prioritas. Marcucci dkk. (2023) menegaskan bahwa setiap negara berhak menentukan di mana datanya disimpan dan siapa yang mengelolanya. Kedaulatan digital harus ditempatkan sejajar dengan kedaulatan teritorial. Sebab dalam dunia yang diatur oleh data, kehilangan kendali atas informasi berarti kehilangan kendali atas masa depan.
Reorientasi ini pada akhirnya adalah pilihan politik:
Apakah kita ingin menjadi pengguna teknologi, atau pemilik pengetahuan?
Dalam era AI, pilihan ini akan menentukan apakah bangsa ini tetap berdaulat — atau sekadar menjadi pemasok data mentah bagi kekuatan algoritmik global.
Referensi :
Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. University of Michigan press, 1994.
Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Vintage, 2012.
Garcia, Carlos Enrique Fernandez, Samantha Gómez Gamboa, and Piero García Castillo. "Digital Imperialism:
Neurosymbolic Artificial Intelligence, International Security, Information Flows, and Social Media in the Twenty-First Century." In Artificial Intelligence, Media and International Security: The Weaponization of Al Use in Media and International Security. Springer, 2025.
Lachova, Maria. "Data, Privacy and Human-Centered Al in Defense and Security Systems: Legal and Ethical Considerations." Information & Security 55, no. 2 (2024): 213-21.
Luo, Yadong. "Illusions of Techno-Nationalism." Journal of International Business Studies 53, no. 3 (2021): 550.
Marcucci, Sara, Natalia González Alarcón, Stefaan G Verhulst, and Elena Wüllhorst. "Informing the Global Data Future:
Benchmarking Data Governance Frameworks." Data & Policy 5 (2023): e30.
Sassen, Saskia. "Digital Networks and Power." Spaces of Culture: City, Nation, World, Sage London, 1999, 49-63.
Warner, Michael. "Leviathan's Heirs: Sovereignty, Intelligence, and the Modern State." Intelligence
Penutup
Kita hidup di masa ketika batas antara keterbukaan dan kerahasiaan makin kabur. Di era ini, intelijen bukan lagi diukur dari siapa yang memiliki senjata paling kuat, tetapi siapa yang menguasai data paling dalam. Tanpa kesadaran kritis terhadap struktur algoritmik global, para abdi negara akan terjebak dalam sistem pengawasan yang mereka bangun sendiri.
Jika negara tidak segera mengambil langkah tegas, maka paradoks itu akan menjadi kenyataan: intelijen akan menjadi nol besar di era AI — bukan karena kurang analisis, melainkan karena kehilangan kendali atas sumber kekuatannya: pengetahuan.
Profil Penulis :
Ruben Cornelius Siagian adalah penulis dan analis yang fokus pada isu politik, keamanan, dan transformasi digital di Indonesia. Tulisan-tulisannya dikenal reflektif dan kritis, menggabungkan pendekatan akademik dengan perspektif jurnalisme investigatif.
Editor :
Dr. Ir. H. Herawansyah, S.Ars., M.Sc., MT., IAI - IndonesiaInteraktif.com.
Redaksi membuka ruang hak jawab, hak koreksi dan hak tolak kepada semua pihak yang disebut dalam pemberitaan ini sesuai amanat Pasal 5 Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999.