Semangat Bushido Untuk Para Pemimpin Pemberani dan Terhormat

Semangat Bushido Untuk Para Pemimpin Pemberani dan Terhormat

 

Indonesiainteraktif.com - Masyarakat Jepang sangat menjunjung tinggi kedisiplinan. Hal ini menyebakan Jepang bisa maju hingga seperti sekarang ini. Budaya Jepang yang sudah mengakar kuat ke masyarakatnya ini ternyata tidak hanya dibangun dalam waktu singkat, melainkan perlu waktu ratusan tahun. Budaya Jepang saat ini terinspirasi dari semangat Bushido.

'Restorasi Meiji (明治維新 Meiji-ishin), dikenal juga dengan sebutan Revolusi Meiji atau Pembaruan Meiji, adalah serangkaian kejadian yang berpuncak pada pengembalian kekuasaan di Jepang kepada Kaisar pada tahun 1868. Restorasi ini menyebabkan perubahan besar-besaran pada struktur politik dan sosial Jepang, dan berlanjut hingga zaman Edo (sering juga disebut Akhir Keshogunan Tokugawa) dan awal zaman Meiji.

Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo dan awal zaman Meiji. Restorasi ini diakibatkan oleh Perjanjian Shimoda dan Perjanjian Towsen Harris yang dilakukan oleh Komodor Matthew Perry dari Amerika Serikat.

Setelah restorasi Meiji, samurai sebagai kekuatan militer utama dihapus dalam sistem pemerintahan. Meski Samurai dihapus, semangat bushidonya tetap hidup sebagai prinsip yang tetap eksis hingga saat ini.

Semangat Bushido adalah semangat yang dimiliki Jepang dalam melakukan setiap pekerjaannya. Kedisiplinan yang tinggi sangat diutamakan untuk menciptakan etos kerja dalam manajemen perusahaan Jepang.

Makna yang lebih luas dari bushido ialah pengabdian dan setia dalam menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan tanah air sampai titik darah terakhir.

Bushido 武 = Bu yang artinya Beladiri, 士 = Shi yang artinya Samurai atau orang dan 道 = Do yang artinya jalan atau cara yang secara harfiah dapat diartikan menjadi tatacara berperilaku kesatria adalah sebuah kode etik kepahlawanan golongan Samurai dalam tatanan feodalisme Jepang. 

Samurai sendiri adalah sebuah strata sosial penting dalam tatanan masyarakat feodalisme Jepang.

Bushido adalah etika moral bagi kaum samurai. Berasal dari zaman Kamakura (1185-1333), terus berkembang mencapai zaman Edo (1603-1867), bushido menekankan kesetiaan, keadilan, rasa malu, tata-krama, kemurnian, kesederhanaan, semangat berperang dan kehormatan.

Aspek spiritual sangat dominan dalam falsafah bushido. Meski memang menekankan “kemenangan terhadap pihak lawan”, hal itu tidaklah berarti menang dengan kekuatan fisik. Dalam semangat bushido, seorang samurai diharapkan menjalani pelatihan spiritual guna menaklukkan dirinya sendiri, karena dengan menaklukkan diri sendirilah orang baru dapat menaklukkan orang lain. 

Kekuatan seseorang timbul dari kemenangan dalam disiplin diri. Justru kekuatan yang diperoleh dengan cara inilah yang dapat menaklukkan sekaligus mengundang rasa hormat pihak-pihak lain, sebagai kemantapan spiritual. Perilaku yang halus dianggap merupakan aspek penting dalam mengungkapkan kekuatan spiritual.

Bushido mengajarkan tentang kesetiaan, etika, sopan santun, tata krama, disiplin, kerelaan berkorban, kerja keras, kebersihan, hemat, kesabaran, ketajaman berpikir, kesederhaanan, kesehatan jasmani dan rohani.

Nilai lain yang terkandung dalam ajaran Bushido adalah tentang bagaimana kita bersikap total, total dalam mengerjakan sesuatu, total dalam mengabdi, dalam kesetiaan, dalam segala hal menjalani kehidupan kita. Merasakan kehidupan dalam tiap nafas berarti kita benar-benar hidup. 

Banyak dari kita yang menyia-nyiakan hidup dengan bermalas-malasan. Bushido mengajarkan diri kita untuk merasakan setiap nafas yang kita hirup. Setiap detik hidup ini harus dijalani denga sungguh-sungguh.

Di jaman dahulu di Jepang, para pendekar perang menganggap perut sebagai tempat bermukimnya jiwa. Jadi pada waktu mereka harus membuktikan rasa tanggung jawab sebagai pendekar atas perbuatannya, mereka lebih memilih melakukan seppuku. 

Tata caranya adalah bersimpuh lalu merobekkan pisau kecil atau biasa disebut tanto ke permukaan perut melintang agar usus terburai. lalu seseorang dibelakang atau yang menyaksikan harus bersiap untuk memenggal kepala yang bertujuan agar penderitaan nya tidak berkepanjangan. 

Di jaman Edo, seppuku bahkan merupakan bentuk hukuman mati bagi anggota kelas samurai. Yang bersangkutan melakukan sendiri seppuku, untuk itu disediakan seseorang guna membantu menuntaskan kematian tersebut agar penderitaan tidak berlarut-larut. 

Pada masa sekarang ini seppuku sama sekali tidak dipraktekkan lagi. Kasus terakhir tercatat pada tahun 1970 ketika seorang sastrawan besar Mishima Yukio melakukan bunuh diri dengan cara ini, dan hal itu sangat mengejutkan seluruh negeri Jepang. Di luar Jepang, praktek seppuku lebih dikenal dengan hara-kiri (merobek perut).

Dalam beberapa kasus, bamyak orang di Indonesia siap mati. Mereka siap mati bukan untuk kepentingan orang banyak tetapi untuk membela dirinya. Mantan Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum pernah mengatakan kalau melakukan korupsi sepeserpun dirinya siap digantung di Monas. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar mengusulkan potong jari bagi pelaku tindak korupsi. 

Dengan usulan itu maka dirinya bila terbukti menerima suap pastinya akan dipotong jarinya. Tak hanya itu dirinya juga menegaskan ketika kasus suapnya terbongkar ia mengatakan, “Saya bukan pengkhianat walau saya harus mati untuk itu semua.” 

Lalu untuk para pemimpin kita yang ada di Pemerintahan saat ini, apakah anda akan melaksanakan semangat Bushido atau semangat ala Anas Urbaningrum ?, kita lihat saja nanti karena saat kemalangan itu terjadi, kebanyakan dari mereka hanya menangis pilu dengan berkata ‘bukan saya, bukan saya’ lepas tangan dan membiarkan anak buahnya menderita. Bukan semangat Bushido yang mereka punyai tetapi semangat ‘Bullshit-do’. Sebuah semangat ‘omong kosong’ janji-janji muluk yang diucapkan para penakut.

 

(II/Hy)

feature (baca: ficer) merupakan salah satu jenis tulisan jurnalistik, selain berita (news) dan artikel opini (views). 

Feature adalah tulisan yang memadukan berita dan opini. Gaya penulisannya “bercerita” (to tell a story/story telling) seperti cerpen atau novel.

Bisa dikatakan, feature ini karya jurnalistik bergaya sastra, terutama dari aspek penggunaan bahasa, alur cerita, dan “dramatisasi”.